PANDEGLANG - Program penanganan fakir miskin yang digulirkan Pemerintah Pusat melalui Kementrian Sosial Republik Indonesia berupa Bantuan Sembako Pangan (BSP) di Kabupaten Pandeglang, Banten semakin carut marut, terlebih setelah munculnya kebijakan Pemerintah Daerah yang terkesan mewajibkan pengusaha pemasok sembako untuk penandatanganan Fakta Integritas, yang hingga kini masih menimbulkan pertanyaan di kalangan aktivis di Kota berjuluk seribu ulama sejuta santri tersebut.
Hasil penelusuran awak media yang tergabung dalam Perkumpulan Jurnalis Nasional Indonesia (JNI) Banten, program BSP dengan nilai pagu sebesar Rp.200.000 yang diterima setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM), ditenggarai menjadi objek ladang cari laba oknum suplier dan agen/E - Warong.
Bagaimana tidak bantuan sebesar Rp.200.000, milik KPM yang dibelanjakan sembako kepada agen / E Warong hanya menerima jenis komoditi beras 10 Kg, telur 1 Kg, jeruk 1 Kg, tempe 1 papan, dan sayuran satu bungkus kecil saja.
Bahkan harga dari Jenis komoditi itu, diduga di mark up oknum agen. Dan itu terbukti dari harga yang terdaftar dalam harga menu agen. Padahal jika dibandingkan dengan harga pasar dan Harga Eceran Tertinggi (HET) dengan kualitas komoditi yang sama sungguh jauh berbeda. Harga pasar lebih murah kendati perbandibgannya dengan HET.
Baca juga:
Tony Rosyid: Gurihnya Dana Bansos
|
Dari pantauan awak media selisih antara harga pasar dan harga menu agen cukup signifikan mencapai Rp Rp 35.000, atau Rp.40.000 hingga Rp.45.000, per KPM. Bisa dibayangkan jika di satu wilayah kecanatan jumlah KPM mencapai 4000 KPM, maka berapa rupiah laba yang dikeruk oknum agen dari uang rakyat miskin. Tentu perdagangan yang sungguh menggiurkan, karena hal ini berjalan setiap bulan.
Carut marutnya program terlebih setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang melalui Tim Koordinasi Kabupaten (Timkoorkab) menyelenggarakan sebuah perjanjian diri seorang pengusaha pemasok dengan penandatanganan fakta integritas.
Niat Pemkab Pandeglang khususnya Dinas Sosial dan instansi lain yang masuk dalam struktur Timkoorkab, tentu untuk membantu peningkatan kesejahteraan warga miskin. Namun fakta berkata lain dari penelusuran awak media JNI, masih banyak pengusaha sembako yang ikut menandatangani fakta integritas tersebut menyalurkan komoditi yang dinilai kurang layak dan tidak berkualitas, bahkan harganya pun jauh dari harga pasar. Pertanyaannya apa sanksi fakta integritas tersebut bagi suplier nakal ?
Menanggapi hal itu aktivis Front Aksi Mahasiswa (FAM) Pandeglang, Ucu Fahmi mengatakan, pihaknya akan terus mengawal setiap program untuk warga miskin terutama program BSP, yang dinilainya amburadul dan terkesan banyak campur tangan oknum - oknum Dinas Sosial melakukan intervensi dan intimidasi bahkan influencer dengan mengarahkan oknum - oknum pejabat negara mempengaruhi agen/ E Warong melakukan Memorndum of Understand (MoU) dengan perusahaan pemasok tertentu.
"Ini sudah keterlaluan, karena di lapangan banyak agen/E Warong merasa tidak nyaman dan tertekan, " tutur Ucu
Dari pantauannya Ucu menjelaskan, banyak perusahaan titipan dari oknum pejabat negara masuk ke agen atau E Warong. Parahnya mereka melakukan ancaman kepada agen dengan mengatakan, jika tidak MoU dengan perusahaan tertentu maka agen yang bersangkutan akan dilaporkan ke Dinas Sosial untuk diganti.
Tidak hanya itu, penekanan lain dari pengusaha pemasok sembako kepada agen agar melakukan MoU dengan perusahaannya, lantaran telah melakukan fakta integritas.
"Banyak pengusaha pemasok sembako BSP kepada agen mengaku kalau pemasok yang boleh MoU dengan agen hanya pemasok yang ikut tanda tangan fakta integritas itu, sungguh miris mendengarnya, " cetus Ucu
Masih kata aktivis yang kerap menyuarakan aspirasi masyarakat ini pun mengaku kalau dirinya banyak menemukan komoditi sembako yang kurang layak konsumsi misal kualitas beras yang jelek atau buah jeruk yang busuk.
Lebih lanjut Ucu menyesalkan, perusahaan pemasok BSP, yang turut menandatangani fakta integritas itu, masih banyak perusahaan yang dinilai belum layak sebagai pengusaha sembako. Karena kata dia, seyogyanya perusahaan pemasok memiliki perijinan yang jelas sebagai perusahaan yang bergerak dibidang sembako.
Baca juga:
Mesin EDC BPNT di Cibaliung Masih Terbatas
|
"Saya menduga perusahaan pemasok yang ikut tanda tangani fakta integritas itu, kebanyakan perusahaan kontruksi bukan perusahaan yang bergerak dibidang sembako. Dan perijinannya pun pastinya belum memiliki ijin dibidang sembako, " terang Ucu
Kenapa demikian kata dia, bisa di cek apakah pemasok BSP itu memiliki gudang atau stok komoditi ? Jika tidak, maka yang dilakukan oknum pengusaha sembako yang dalam hal ini sebagai suplier BSP ketika dirinya mendapat Purchase Order (PO) dari E Warong, perusahaan itu pasti akan mencari pedagang sembako yang memiliki komoditi sesuai pesanan KPM.
"Nah kalau demikian kesimpulannya pemasok akan mencari pedagang yang memiliki komoditi untuk diajak kerjasama atau bisa jadi dia akan menbeli komoditi tersebut tentu dengan harga murah, karena dalam otaknya ini sebuah bisnis meraup untung banyak, " imbuhnya seraya menambahkan, pengusaha seperti itu, layaknya seorang calo di pasar induk
"Biasa Calo gimana sih teriak-teriak beras - beras, telur-telur, tempe - tempe, jeruk - jeruk, sayuran - sayuran ! pas ada pembeli dia mencari dulu ke bandar besar. jika komoditi itu ada tentu harganya akan mahal karena sang calo ambil untung lagi. Coba kalau langsung ke bandarnya, selain harga terjangkau, kualitasnya juga akan baik, lantaran sesuai dengan harga beli dari komoditi itu sendiri, " Cibirnya (Red)